Oleh : Dane Budi Darma
DESA LENEK merupakan salah satu Desa Tua yang ada di Kabupaten Lombok Timur yang berada diwilayah Kecamatan Aikmel (kini menjadi Kecamatan Pemekaran menjadi Kecamatan Lenek, dulu hanya 1 desa dan mekar menjadi 8 Desa), Desa Lenek ini dulu pertama kali bernama Desa Sukumulia, jadi sebelum bernama Lenek, dahulunya bernama Sukumulia kebiasaan masyarakat setempat disebut menjadi Sukamulia, dan penduduk asli Desa Sukumulia ini berjumlah 100 orang, yang anehnya berpuluh-puluh tahun tidak bisa berkembang biak atau bertambah melebihi 100 orang tersebut, setiap akan melampaui 100 orang pasti meninggal, entah karena apa, kendatipun ada yang mengatakan itu pengaruh desanya. Pada masa itu yang menjadi Penoak/Penjuluk (Kepala Suku) bernama BALOQ DASA, anehnya lagi kendati beliau tidak menjadi Datu/Raja, walau hanya selaku kepala suku, yang saat itu disebut Penoak Desa, tetapi beliau mempunyai Patih yang berjumlah empat orang. Adapun keempat patih tersebut adalah :
- PATIH DEMUNG PAPAK
- PATIH RAMBAN BIAQ
- PATIH SI NYIUR
- PATIH TEMBENG BAGIA
Pada suatu hari Baloq Dasa beserta keempat orang patihnya pergi menghadap ke Kerajaan Selaparang untuk melaporkan kepada Pemban/raja disana tentang kondisi masyarakat desa Sukumulia/ Sukamulia yang tidak bisa berkembang.
Kemudian singkat cerita, Pemban/Raja Selaparang mengutus ke empat patih Baloq Dasa tersebut dengan membawa Panji Kebesaran Selaparang dan beberapa pusaka kerajaan sebagai tanda utusan pemban/raja menemui salah seorang datu di Kedatuan Benoa (Kerajaan Benoa) di Lombok Tengah, untuk menjemput orang yang bernama Raden Wirangbaya, Raden Wirangbaya adalah salah satu putra Raja Selaparang (Deneq Mas Pakel/Pemban Dewa Mahameraja Maspakel) yang berkuasa saat itu, yang dititipkan kepada kerabatnya (datu Benoa) untuk berguru, mencari ilmu tentang kehidupan, dan pada saat menitipkan Raden Wirangbaya, Deneq Mas Pakel (Pemban/Raja Selaparang) tidak mengatakan Raden Wirangbaya adalah putranya pada Datu Benoa, dirahasikan agar Datu Benoa tidak sungkan dalam membimbing Raden Wirangbaya dalam kesaharian.
Setelah rombongan sampai di Desa Benoa, Kepala rombongan kemudian menyampaikan kepada Datu Benoa, bahwa Pemban/Raja Selaparang telah mengangkat Raden Mas Wirangbaya untuk menjadi Datu di Desa Sukumulia/Sukamulia dan Raja memerintahkan kami untuk menjemput Raden Mas Wirangbaya sebagai pemimpin kami, kata salah seorang patih dengan tegas, melihat Panji/Bendera Selaparang dan mendengar utusan dari Raja Selaparang, Raja Benoa mengatakan bahwa “Tidak ada putra Pemban/Raja Agung Selaparang di sini, yang dititipikan pada saya oleh Pemban Selaparang hanya seorang yang bernama Wirangbaya untuk belajar segala hal, mejadi pekatik (penggembala) seperti menggembala kuda, dan memelihara hewan ternak lainnya” kata penguasa Benoa, “Nah itu Raden yang dimaksud Pemban/Raja Selaparang Yang Mulia Datu, bahwa Raden Wirangbaya itu adalah salah satu Putra Raja Selaparang yang khusus dititip untuk belajar di Benoa ini” kata salah seorang utusan, dan seketika Datu Benoa kaget (momot, meco/tertegun) sejenak, kemudian beranjak memanggil serta menemui Raden Wirangbaya sembari memeluknya dengan menangis “Nanda Raden Wirangbaya, kenapa selama ini nanda tidak pernah bercerita bahwa sesungguhnya nanda adalah keponakan saya, putra kanda Prabu Penguasa Agung Selaparang, oh maafkan pamanmu ini nak, atas segala perlakuan paman selama ini, atas perlakuan yang tidak selayaknya/pantas nanda dapatkan, paman perlakukan nanda seperti orang lain, maafkan paman”, kemudian Raden Wirangbaya memeluk Datu Benoa dengan erat dan mengatakan “Tidak apa-apa paman, tidak ada yang salah, saya memang ditugaskan untuk belajar segala hal oleh Ayahanda Prabu pada paman di wilayah Benoa ini, sehingga saya diminta untuk menyembunyikan identitas diri, terima kasih banyak atas segala pembelajarannya yang tentunya akan sangat bermanfaat dalam hidup saya kedepan paman, semua saya terima dengan ikhlas” kemudian raja benoa masuk mengambil beberapa benda pusaka yang diterima dari Pemban/Raja Selaparang saat menitipkan Raden Wirangbaya sebagai kenang-kenangan dan sebagai bentuk ikatan kekeluargaan diantara mereka untuk dipersembahkan kembali kepada yang lebih berhak yaitu Raden Wirangbaya diantaranya adalah : 1 buah Boneka Patung Kucing Mas ( Meong Mas ), boneka kucing yang di saput atau dilapisi emas murni, beberapa Keris Pusaka yang diantaranya juga ada yang di lapisi emas yang diberi nama “Si Papak”, Sabuk Belo, Gong Kecil, dan beberapa buah Tombak serta beberapa pusaka lainnya, serta untuk membantu tugas-tugas Raden Wirangbaya, maka Raja Selaparang berkenan memberikan pengiring/pengikut sebanyak 160 orang serta perbekalan lainnya ketika hendak berangkat menuju Benoa, rombongan kemudian kembali kearah timur menelusuri hutan belantara, dan suatu ketika sampailah di gawah (hutan) lenek, di sini Raden Wirangbaya beristirahat sejenak sambil menikmati buah durian, anehnya semua biji buah durian yang dimakan oleh Raden Wirangbaya begitu dibuang ke tanah langsung tumbuh beberapa jam kemudian, dan daerah ini kemudian dinamakan Gawah Duren (Gawah = Hutan, Duren = Durian). sekarang menjadi desa pemekaran Desa Lenek Duren.
Setelah beberapa tahun memimpin Desa Sukumulia yang berpusat di Presak (sekarang menjadi desa pemekaran yang bernama Desa Lenek Pesiraman), kemudian Raden Wirangbaya memindahkan pusat pemerintahannya kesebelah utara sejauh lebih kurang satu kilometer, perkampungan baru yang pertamakali dibuat itu di beri nama Gubuk Koloh Petung, akan tetapi oleh masyarakat dulu dikenal dengan sebutan LENDEK (RATA), kemudian lama kelamaan oleh masyarakat dikenal dengan sebutan LENEK. Adapun mengenai kapan dilakukannya perpidahan tersebut tidak dapat diketahui dengan pasti dalam artian tidak ada data tertulis mengenai hal tersebut, hanya saja pada waktu itu diketahui bahwa agama Islam sudah masuk dan berkembang di Desa Sukumulia/Sukamulia ini walaupun belum begitu pesat.
Dalam beberapa informasi tersebut bila dihubungkan dan ditilik data tentang sejarah masuknya agama Islam di Lombok yaitu sekitar abad ke 16 hingga pertengahan abad ke 18, maka bisa diperkirakan Raden Wirangbaya melaksanakan rencana pemerintahannya itu adalah sekitar antara akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17.
Setelah berpindah tempat jumlah penduduknya pun sudah mulai berkembang dengan cukup pesat, ini terjadi karena telah “dimulainya” perkawinan antara penduduk Sukamulia yang berjumlah 100 orang dengan pengikut Raden Wirangbaya yang berjumlah 160 orang, pada masa inilah kemudian Raden Wirangbaya mengutus ke empat orang patih tersebut untuk memperluas wilayah kekuasaannya pindah menyebar ketempat yang masih luas sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya untuk menjadi wakilnya didalam memerintah di wilayahnya masing-masing antara lain : Patih Demung Papak diperintahkan untuk menuju kesebelah barat desa yang dinamakan Dasan Paok Pondong, disini Patih Demung Papak ini berdomisili dan menjalankan tugasnya sebagai wakil dari Raden Wirangbaya. Patih Tembeng Bagia diperintahkan untuk menuju kesebelah selatan desa tepatnya di Dusun Dasan Tembeng. Demikian juga Patih Si Nyiur diperintahkan menuju ke selatan , hanya saja Patih Tembeng Bagia ke selatan barat, maka Patih Si Nyiur keselatan bagian timur, dan di tempat yang diperintah oleh Patih Si Nyiur inilah yang sekarang dikenal dengan nama Dasan Nyiur sesuai dengan nama Patihnya. Sedangkan Patih Ramban Biak diperintahkan menuju kesebelah utara desa yang kemudian daerah pemukiman itu dinamakan Dasan Ramban Biak (kini menjadi desa pemekaran Desa Lenek Ramban Biak).
Untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman agama pada masyarakat/rakyatnya maka Raden Wirangbaya memerintahkan untuk mendirikan sebuah bangunan sarana peribadatan sebagai tempat mengajar agama Islam yang dinamakan pesanteren, atau yang oleh masyarakat setempat biasanya disebut Santeren. Pada saat pertama kali didirikan santeren itu dinamakan Santeren Mulang, dinamakan demikian karena memang tempat itu digunakan untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama (Mulang berasal dari bahasa jawa yang berarti Mengajar). Tetapi entah karena apa akhirnya lama kelamaan nama santeren Mulang berubah menjadi Santeren Malang. Dari hal ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh jawa (Majapahit) terhadap kehidupan rakyat Desa Lenek waktu itu, dan juga sampai dengan hari ini
Selain itu juga didirikan sebuah tempat pemandian yang tujuannya adalah disamping untuk tempat mandi, juga sebagai tempat rekreasi maupun istirahat, tempat ini dinamakan Pesirman. Kemudian seperti halnya pada banyak kejadian maka nama itupun saat ini lebih dikenal dengan nama Pesiraman.
Dari proses kesejarahan tersebut, maka walaupun secara geografis letak desa Lenek demikian adanya, akan tetapi kultur atau budaya masyaraktnya tetap memiliki banyak kesamaan. Hal ini juga yang menyebabkan mereka tetap merasa satu, sebagai salah satu buktinya adalah bahwa tidak jarang terjadi sekelompok keluarga yang berdomisili di ujung utara desa masih bersaudara dengan yang di ujung selatan maupun lainnya, faktor pendukung lainnya adalah terdapatnya beberapa peninggalan sejarah, seperti bekas masjid tua ” Masjid Presak” (Presak = bekas pusat pemerintahan desa yang ditinggalkan) dan bekas tempat pakaian orang tua yang di sebut MIJO.
Sampai saat ini masyarakat Desa Lenek adalah merupakan salah satu masyarakat yang masih mampu melestarikan budaya daerah setempat dalam lingkaran hidupnya, baik yang berupa upacara yang bersifat ritual maupun upacara lainnya. Beberapa upacara daur hidup yang masih dilestarikan oleh masyarakat desa lenek diantaranya adalah Upacara Khitanan, Kelahiran, Perkawinan, juga Kematian.
Selain itu ada juga beberapa upacara yang berkaitan nilai agama yaitu, Upacara Ngejot setiap Idul Fitri dan Idul Adha, Upacara Bubur Putek (tanggal 10 Muharam), Upacara pembuatan Bubur Abang (tanggal 10 Syapar), Upacara Mulut Adat (tanggal 12 Rabiulawal), serta ada pula upacara yang berkaitan dengan alam misalnya, Begawe Belauq, Upacara Ngalu Ujan, Upacara Betetulak, Upacara Ngayu-ayu.
Upacara Adat Mulut Bleq merupakan salah satu bentuk upacara ritual pada masyarakat Lombok Timur, khususnya yang berada di desa Lenek yang berlangsung secra turun temurun dari dulu sampai saat ini, upacara ini dimaksudkan untuk memperingati kelahiran Nabi besar Muhammad SAW dengan secara adat, dimana pelaksanaan upacara ini dimulai dari tanggal 10 sampai dengan 15 Rabiulawal pada setiap tahunnya. Upacara Mulut Bleq diawali dengan pengeluaran Sabuk Belo kemudian dilanjutkan dengan acara Pepaosan, Pembuatan Minyak Obat dan acara puncaknya ialah Praja Mulud. Pada siang harinya acara dilanjutkan dengan pengajian, penyantunan Anak Yatim Piatu, Fakir Miskin dan pemberian makan kepada semua mahluk. Sedangkan pada malam harinya diramaikan dengan berbagai macam kesenian sasak.
Sabuk Belo disini merupan simbol yang melambangkan ikatan persaudaraan, Kekeluargaan, Persatuan dan Kestuan antara sesama mahluk, sebagaimana yang tertulis dalam sastra sasak ” Belo tetandan ta entiq, Pait pria ta kaken, Teguq tegeng maraq batu, Kekah datan keneng obah, Tulus karang jari apur”, atau dalam Al’Quran di sebutkan ” Wa’tasimu- bihabblillahijami’an wala tafarraqu” Berkaitan dengan pemberian makan kepada semua mahluk hidup, hal ini merupakan tujuan Nabi Muhammad yang diutus oleh Allah SWT sebagai penyelamat alam semesta (Rahmatan Lil Alamin) atau dalam sastra sasak disebutkan “mel bao mel bawaq, maraq aiq dalem selao (Memayu Hayuning Bwana)”, yang dilandasi dengan sifat kasih sayangnya terhadap segala sesuatu (hanngelampahkan agung dana nira)
Pada dasarnya seluruh rangkaian upacara adat “Mulut Bleq” adalah merupakan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat adat. Tentunya memperingati hari kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW mempunyai makna khusus dan dalam karena sebagai masyarakat adat unsur menembah, Pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah faktor yang dominan di dalam hidup dan kehidupan.
Di dalam menembah dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut perlu diingat bahwa unsur kebersihan jasmani dan rohani sangat dominan. Mengingat bahwa sang pencipta bersifat Maha Suci, maka hanya dengan kesucian jasmani dan kesucian jiwalah kita dapat sampai kepadanya.
Oleh karena itulah bagi masyarakat Lenek, momen Mulut Bleq merupakan titik tolok untuk merenung, menilai, dan mengintrofeksi diri sendiri sekaligus untuk meneladani segala prilaku dan perjalanan hidup Rasulullah.
Setelah RADEN WIRANGBAYA wafat, beliau dimakamkan di PRESAK bekas pusat Pemerintahan pertama Sukumulia/Sukamulia/Lenek, dan makam beliau masih ada kita jumpai sampai sekarang bersama isteri dan para patihnya.
Sepeninggal RADEN WIRANGBAYA, LENEK dipimpin oleh Putrinya yang bernama DENDE KITAB lebih dikenal dengan nama Baloq Margi, dan untuk generasi selanjantunya desa Lenek dipimpin oleh Keturunan Raden Wirangbaya sampai 8 generasi/keturunan. Pada saat itu sampai saat ini wilayah LENEK cukup luas yaitu mulai dari sebelah utara Desa Lenek Duren sekarang dan disebelah selatan yaitu LENEK BARA ( Desa Korleko yang sekarang ).
Adapun Urutan Pemimpin / Kepala Desa Lenek sejak awal peradabannya adalah :
- RADEN MAS WIRANGBAYA (selanjutnya turun temurun kepada generasinya, sampai 8 generasi) al :
- BALOQ MARGI (DENDE KITAP)
- BALOQ ITOR
- BALOQ KERTAWANG
- BALOQ PAWANG
- BALOQ NURAWANG
- BALOQ RIAWANG
- NINIQ SRIANANG
- NINIQ H. FATHURRAHMAN (TUAN JERO)
- NINIQ DANE RAHIL
- NINIQ ANOM
- NINIQ ISNI
- NINIQ H. ISNAINI
- BAPAK QAIBBUL AKBAR
- H. KIUMUDIN
- BAPAK QAIBBUL AKBAR
- DRS. ACIH ALI
- LALU KARWINATA SE.
- SUARDI S.Pd.I
Pada saat ini LENEK sudah mekar menjadi 8 Desa, dari 8 desa pemekaran tersebut tetap menggunakan nama desa permulaan di depannya yaitu LENEK antara lain :
- DESA LENEK (INDUK/AWAL)
- DESA LENEK DAYA
- DESA LENEK LAUQ
- DESA LENEK PESIRAMAN
- DESA LENEK RAMBAN BIAK
- DESA LENEK BARU
- DESA LENEK DUREN
- DESA LENEK KALIBAMBANG
Masing-masing desa tersebut telah memiliki Kepala Desa tersendiri, dan saat ini Lenek sudah ditetapkan menjadi salah satu Kecamatan Pemekaran di Kabupaten Lombok Timur berdasarkan Peraturan Daerah nomor 9 Tahun 2017 tentang Pembentukan Kecamatan Lenek di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Narasumber :
- PEMBAN DEWA MAHAMERAJA MASPAKEL/Bapak Maspakel bin Dane Rahil (Ketua Yayasan Amal Saleh Dane Rahil)
- Bapak Suryanang Purnama bin Dane Rahil.
- Alm. Bapak Qaibbul Akhbar bin H Muzahar (mantan Kades 2 Periode)
- Papuq Dion (Pemacak/Pujangga Lenek)
- Papuq Sahir/Amaq Sahnan (Pemacak/Pujangga Lenek)
- Baloq Ibot & Papuq Sur Gubuk Koloh (Pewaran Peradaban Lenek)
- Bapak Rina bin Niniq Isni