NPLOMBOK.id-Dalam perjalanan hidup, setiap orang pasti memiliki cita-cita, yaitu sebuah keinginan kuat  tentang suatu keadaan pada dirinya yang akan atau diharapkan terjadi di masa depan.  Dalam konteks bahasa zaman sekarang, bisa dikatakan sebagai memproses mimpi sehingga bisa menjadi kenyataan.

Proses kehadiran cita-cita pada seseorang berkembang sesuai perkembangan diri orang tersebut terutama perkembangan akal dan pikirannya. Cita-cita seorang anak pasti berbeda dengan orang dewasa yang banyak dipengaruhi oleh orang-orang terdekatnya.   Apabila seseorang itu telah beranjak dewasa, yang berarti juga akalnya mulai berkembang-bisa dilihat dari kemampuannya membedakan antara yang salah dan benar-, maka pengaruh orang-orang terdekat mulai berkurang, digantikan oleh pengaruh lingkungan sekitar dan pengalaman yang telah dilaluinya. Begitulah perkembangan cita-cita pada diri seseorang sehingga mencapai puncaknya manakala akal telah sempurna, yakni pada kisaran umur 40 tahun.

Akan tetapi tentu kita tidak akan membicarakan mengenai perkembangan cita-cita maupun akal itu secara panjang lebar. Kita hanya akan fokus kepada beberapa kalimat populer yang sudah sering kita dengar.

Pendiri negara sekaligus Bapak Proklamator kita, pernah mengatakan, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit, Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang.“  Kalimat ini bukanlah kalimat biasa.  Kalimat yang terlihat sederhana namun penuh makna ini, lahir dari perjalanan panjang secara fisik dan spiritual sebagai konsekwensi kuatnya cita-cita kolektif semua orang untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.  Dan cita-cita itu, kalau boleh direpresentasikan ada di tangan seorang Soekarno. 

Kenyataannya, Soekarno bersama pejuang kemerdekaan lainnya terbukti mampu mewujudkan itu semua, ditambah dengan keberhasilannya menyatukan semangat Nusantara yang terbagi-bagi dalam jarak ribuan kilometer dan ribuan pulau yang bagi orang lain tidak akan mungkin menjadi sebuah negeri berdaulat yang kemudian bernama Republik Indonesia.

Itulah kekuatan cita-cita. Kuatnya cita-cita dipengaruhi oleh cita-cita itu sendiri.  Semakin murni cita-cita atau tidak tercampurnya cita-cita itu dengan tujuan-tujuan lainnya, maka akan menghadirkan faktor-faktor pendukung dari diri orang yang bercita-cita yang kemudian lahir dalam semangat dan kekuatan untuk bergerak ke arah tercapainya cita-cita tersebut. 

Maka untuk mendapatkan pemahaman terdekat dari maksud kalimat Soekarno tentang cita-cita itu tentu saja bisa diambil dari perjalanan hidup Soekarno sendiri dalam mewujudkan cita-citanya. 

Kita asumsikan saja bahwa cita-cita terbesar Soekarno adalah membebaskan Nusantara dari penjajahan sekaligus mendirikan sebuah Negara berdaulat.  Maka terbukalah fakta bahwa cita-citanya itu memerlukan proses panjang yang tidak mudah.  Memerlukan banyak jalan berliku, yang kapan saja, aral melintang akan ditemukannya sepanjang perjalanan itu.  Misalnya saja, karena dia tahu musuhnya adalah penjajah Belanda yang jauh lebih maju, maka dia harus memajukan dirinya terlebih dahulu.  Mulailah dia menempuh semua jenjang pendidikan, belajar bahasa Belanda, melakukan hubungan-hubungan emosional dengan para pejuang lainnya, mempelajari sejarah-sejarah negara lain yang telah memerdekakan diri, memahami wilayahnya dan lain sebaginya.

Semua itu harus dilaluinya sebagai prasyarat menuju cita-cita besarnya.  Maka semua cita-cita pendeknya (prasyarat) harus bisa ia wujudkan. Hasilnya adalah ia menjadi seorang insinyur, ia menjadi orator ulung, ia dihormati oleh pejuang lainnya, ia menjadi seorang intelektual muda yang berpengaruh dan ia menjadi pemimpin diantara para pejuang muda lainnya. 

Seandainyapun cita-cita besarnya untuk mengusir penjajah itu (cita-cita setinggi langit) ditakdirkan gagal, tetapi ia telah menjelma menjadi sosok pribadi yang sangat hebat pada masanya (jatuh ke gugusan bintang-bintang). Malahan dalam kesempatan berbeda, Soekarno pernah menyatakan kesiapannya untuk sirna menjadi arang (gagal dalam cita-cita) di tengah-tengah api semangat dan cita-cita perjuangan nusantara. Dia boleh gagal, akan tetapi kecemerlangan cahaya cita-citanya tidak akan pernah padam dan akan terus menerangi setiap jiwa pejuang-pejuang lainnya untuk terus berjuang.

Dalam contoh yang berbeda, kita bisa mengambil sebuah ibarat yang bisa memudahkan kita kepada pemahaman.  Kita ibaratkan saja hendak menggantung cita-cita ke langit.  Logikanya kita harus terbang untuk meletakkan cita-cita.  Untuk mencapai langit, bukan perkara mudah. Kita memerlukan pilot yang hebat untuk membawa kita terbang, kita butuh pesawat, kita butuh modal dan yang paling utama adalah kesiapan secara fisik, mental dan spiritual. Maka pada saat kembali untuk menggapainya, paling tidak kita sudah tahu jalan, dan tidak mencoba-coba jalan lain yang nantinya justru akan menyesatkan kita.

Lalu siapakah pilot itu?  Dia adalah guru, dia adalah orang tua, dia adalah teman dan sahabat, dia adalah saudara, dan yang paling utama tentu warisan terbesar yang dihadirkan kepada seluruh umat manusia yakni agama. Bagaimana dengan pesawatnya?  Dia adalah lingkungan, dia adalah sekolah dan dia adalah tempat bekerja. Mulailah bercita-cita.  Sebuah cita-cita besar setinggi langit, yang kemudian akan anda wujudkan dengan segenap jiwa raga.  Maka saat kemungkinan terburuk harus terjadi, yakni anda gagal mewujudkannya, maka anda sesungguhnya telah bergerak membangun lorong cita-cita dengan semua kebaikannya.  Dan, yakinlah bahwa anda akan tetap berada pada gugusan bintang-bintang yang mencemerlangkan anda. (Ht)