NPLOMBOK.id-Edon dapat SK kontrak baru.  Ia dipindah ke kelurahan sebagai tenaga administrasi.  Awalnya ada sedikit rasa berat.  Yang ia dengar, kerja-kerja kelurahan itu membosankan dan kering.  Kurang kerjaan dan tidak ada proyek.

Hari pertamanya diisi dengan berkenalan dan basa-basi dengan semua staf dan pejabat kelurahan lainnya.  Ternyata hampir semua ia kenal, kecuali Kasi Trantib.  Konon kasi trantib ini juga orang baru.  Belum setahun ditempatkan di kelurahan.  Namanya Hary.  Orangnya tinggi besar, yang menurut Edon, memang pantas jadi Kasi Trantib.

Sebagai orang baru, menurut Edon, hari pertamanya berjalan biasa-biasa saja, malah cenderung membosankan.  Ia sebenarnya tahu apa yang mesti dilakukan, akan tetapi ia lebih memilih untuk menunggu perintah.  Hingga pukul 10, perintah itu tak kunjung datang.  Akhirnya Edon melangkah menuju perpustakaan kelurahan yang terlihat lengang. 

Kasi Trantib disana.  Tinggi besar.  Susah payah Edon menahan tawa, membayangkan ketidaknyambungan porsi tubuh Pak Kasi dengan kenyataan hobi membacanya.  Edon berpendapat, kalau orang sudah betah di perpustakaan yang sunyi dengan ribuan buku, hobinya pasti membaca.  Dan si tinggi besar yang nampak sangar itu, ternyata ada disana.

“Mari pak Edon, kita duduk disini sambil baca- baca buku,” sambut Hary ramah.

“Siap Pak Kasi, saya lagi nunggu perintah,” jawab Edon hormat.  Masih menahan tawa.

“Kalau mau baca berita, itu ada komputer.  Siapa tau dapat update penting tentang perkembangan dunia,” kata Hary cuek sambil menutup buku tebal yang ada di tangannya.

Edon duduk di kursi sebelah Kasi Trantib.

“Saya jarang baca berita pak, kecuali sudah ndak tahan dengar teman-teman membicarakannya.  Ngeri.  Isinya hanya debat, saling salahkan dan cenderung pendapat-pendapat mereka dianggap paling benar,” jawab Edon sekenanya.

“Bisa beri contoh,?” selidik Hary sambil memperbaiki posisi duduknya.

 “Misalnya sekarang orang-orang sedang sibuk membicarakan Ibu Sukmawati karena pidatonya saat membandingkan Nabi Muhammad dengan Ir Soekarno.  Dia bertanya kepada yang hadir tentang siapa yang berjuang saat kemerdekaan.  Pertanyaan itu saya anggap tanpa didasari ilmu, karena sudah pasti yang berjuang secara fisik itu ya Soekarno bersama kawan-kawannya.  Dia lupa kalau masa hidup Rasulullah itu sudah lebih dari 1000 tahun lalu.  Dan dia lupa kalau Rasulullah itu pembawa syariat agama untuk didengar dan ditaati supaya kita selamat dunia akhirat.  Jadi membandingkan Rasulullah dengan Soekarno dari sisi berjuang merebut kemerdekaan secara fisik tahun 1945 itu adalah suatu kebodohan besar dan nyata,” Edon berapi-api.   

“Iya, iya.  Tapi ada baiknya tidak usah kita tanggapi.  Kita mestinya kasihan pada Ibu Sukmawati karena nikmat yang diberikan Allah padanya sudah mulai dikurangi.  Kemarin saya tonton video klarifikasinya di salah satu media online, saya kasihan melihat wajahnya yang terlihat cemas setiap berbicara. Dia terus berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki kekeliruannya,” sambung Hary bijak.

“Iya juga sih, tapi begitu mendengar beritanya yang viral, saya jadi ingat kata-kata guru saya, Ustadz Salman.  Kata beliau, bahwasanya, kemauan dan kekuasaan makhluq untuk berbuat sesuatu itu, pasti dari Allah.  Malahan semua yang ada di alam semesta ini juga Allah yang ciptakan, termasuk sifat-sifat dan gerak makhluq.  Allah menciptakan sebab dan akibat.  Misalnya, suatu kondisi itu ada, setelah didahului oleh kondisi-kondisi sebelumnya.”

“Maksudnya gimana Pak Edon?  Saya tidak menemukan hubungannya dengan Ibu Sukmawati,” tanya Hary.

“Adduh, gimana ya Pak Kasi.  Saya juga agak bingung.  Oh ya, jadi kenapa kalimat-kalimat tidak produktif dari bu Sukmawati itu keluar dari mulut beliau, menurut saya karena kekurangan ilmu dan kebenciannya.  Lihat saja penekanannya pada kata -Yang Mulia Nabi Muhammad-.  Kata yan mulia itu hanya pantas untuk para penguasa dan orang-orang yang dia hormati pada acara-acara resmi.  Sementara gelar Nabi itu sendiri sangat mulia.  Kita hanya diwajibkan mengetahui 25 nabi.  Dan Nabi Muhammad adalah penghulu para nabi.  Jadi dari sekian milyar manusia yang ada sejak zaman nabi Adam, gelar utusan Allah itu hanya diberikan Allah kepada beberapa orang hambanya saja.  Gelar itu diberikan langsung oleh Yang Maha Segala-galanya.  Lalu kita, atau siapa saja, koq berani-beraninya mencoba merendahkan para nabi dengan membandingkannya pada perjuangan di masa kini? Bukankah itu kebodohan besar nan nyata?  Nabi itu berjuang bukan untuk dirinya, tapi untuk seluruh makhluq, tanpa ada tujuan-tujuan rendah lainnya.  Betul-betul murni karena Allah,” Edon makin berapi-api.

”Lah, apa hubungan sebab-akibat tadi dengan omongan Sukmawati,?” tanya Hary.

“Gini, sebab dari keluarnya kata-kata itu karena kurangnya ilmu orang yang mengatakannya.  Kurangnya ilmu karena tidak mau belajar.  Tidak mau belajar itu karena hatinya buta.  Hatinya buta karena kurang iman,” dengan susah payah Edon mencoba menjelaskan.  Malu kan sama atasan kalau hanya omong doang tanpa dasar?

Hary nampaknya faham kemampuan Edon.  Ia mencoba mengalihkan pembicaraan.  “Sudahlah Pak Edon, bukankah tadi sudah dikatakan bahwa apapun itu, semuanya dari Allah?  Jadi kita ambil saja sisi positifnya.  Siapa tahu dengan kebodohan kalimat-kalimat itu, justru iman kita akan dikuatkan Allah?  Kita jadi lebih peduli pada keselamatn diri dan keluarga kita dari api neraka.  Kita jadi lebih menjaga omongan-omongan kita tentang agama dari kebodohan-kebodohan diri karena ilmu kita kurang, atau kita bisa lebih ikhlas dalam ibadah-ibadah kita,” sambung Hary pelan.

Edon melongo.  Terdiam.  Ia tidak menyangka, si tinggi besar itu akan mampu mengeluarkan kalimat-kalimat penuh hikmah.  Ia melirik pada buku di bawah tangan Kasi Trantib itu.  Sekilas ia bisa membaca judulnya.  “Hal-hal yang membebaskan: Syukur dan Sabar”

“Koq mengkhayal Don?  Lebih baik ajak saya ke tempat Ustadz Salman, kita sama-sama berguru,” kata Hary memecah keheningan. Perlahan senyum Edon mengembang.  Ia mengangguk.  Ia membayangkan suasana bergurunya ke Ustadz Salman akan lebih dinamis.  Kadang-kadang, sobatnya Aceng itu agak mengesalkan juga meskipun ia sering ia rindukan.  Jadi alangkah baiknya kalau mereka bisa bertiga ke tempat Ustadz Salman. (**)