NPLOMBOK.id-Sesuai janji kami (redaksi) pada tulisan pertama tentang “mengenal suku Sasak”, kini kami akan mengangkat judul “sasak yang Sesak” berdasarkan penuturan Lalu Darman, budayawan muda dari Desa Suradadi yang lebih akrab dengan panggilan Miq Darman, beberapa waktu lalu.
Pada tulisan ini, Miq Darman lebih mengedepankan nilai-nilai luhur masa lalu dibanding peninggalan berupa benda-benda maupun situs. “Ini yang lebih penting, karena nilai-nilai inilah sesungguhnya yang menjadi tujuan utama penyusunan sejarah, supaya kita lebih mengenal kearifan nenek moyang kita dalam menjalani hidup dan menyelesaikan segala permasalahan yang timbul pada masa itu, meskipun dalam segala keterbatasannya. Syukur-syukur kalau kita, sebagai generasi setelahnya bisa mengambil sisi terbaik dari sana,” ujarnya memulai.
Miq Darman memulai mengisahkan sejarah Sasak dari keunikan Pulau Lombok yang dipenuhi lekuk keindahan dan kesuburan. Inilah pulau yang muncul dalam ungkapan Jawa sebagai negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Gunung Rinjani yang menjulang tinggi (3726 mdpl), bagaikan pasak di tengah-tengah pulau Lombok yang tidak terlalu besar (kegagahan Rinjani dapat disaksikan dari seluruh wilayah Pulau Lombok). Menghadirkan aliran kesuburan sepanjang tahun melalui keberadaan Danau Segara Anak, sebuah tangkupan air yang dikelilingi Gunung Rinjani dan deretan gunung lainnya, membentuk lingkaran yang mengelilingi Danau tersebut.
Aliran airnya kemudian bergerak ke lembah-lembah menghijau dibawahnya secara merata, seolah menjadi pelengkap akan tingginya unsur hara tanah yang terbentuk dari kumpulan debu vulkanik akibat letusan dahsyat Gunung Rinjani pada zaman kuno dahulu, pada saat Rinjani masih bernama Samalas.
Baca juga Mengenal Suku Sasak: Masuknya…
Inilah pulau impian pada masa itu. Sebuah pulau yang memiliki semua kelengkapan sumber daya sebagai prasyarat dasar untuk hidup. Sebuah pulau yang pantas didiami oleh siapapun dan darimanapun. Baik itu pengembara, pendekar-pendekar, para pertapa, kaum nomaden maupun bagi sekelompok pelaut yang memerlukan tempat untuk berlabuh dan tinggal.
Jadilah pulau yang dulunya tak berpenghuni makin ramai. Dari berbagai tempat dan penjuru. Yang masing-masing membawa tatacara, kebiasaan, bahasa dan keterampilannya masing-masing.
Akan tetapi, konsekwensi yang timbul sebagai akibat bercampurnya semua perbedaan itu mulai muncul. Pergesekan kepentingan tak terhindarkan. Kebiasaan dan tatacara hidup itu bagaikan mencoba menyatukan antara air dan minyak. Sesuatu hal yang mustahil. Disaat kemustahilan itulah muncul jalan keluar. Jalan keluar itu hadir melalui sosok yang bernama Gajah Yuse.
Siapakah Gajah Yuse? Darimana sosok ini Berasal? Bagaimana ia mampu menyatukan keberagaman itu sehingga bisa menjadi sebuah kondisi yang kita kenal sebagai Sasak Satunggal? Ikuti “Sasak yang Sesek” pada tulisan berikutnya. (Ht-01)