NPLOMBOK.id-Mulai beragamnya kelompok masyarakat yang mendiami Pulau Lombok masa itu memunculkan permasalahan baru.  Pulau Lombok, yang meskipun pada masa itu masih sangat luas, mulai terasa sesak, atau dalam bahasa Sasak “sesek.”  (Menurut Miq Darman, kata sesek inilah yang kemudian memunculkan istilah kata Sasak untuk menyebut suku yang mendiamai Pulau Lombok). Sesak dalam hal ini adalah sebuah pengibaratan terhadap rasa sesak yang muncul dalam sendi sendi kehidupan penduduknya akibat beragamnya bahasa, tata cara hidup, kebiasaan, adat istiadat dan lain-lain. 

Mereka belum memiliki agama karena masih berada pada lingkup Sasak dalam fase prasejarah.  Yang berlaku pada masa itu hanya ajaran, belum ada sendi-sendi/norma-norma atau pedoman yang dijalankan secara menyeluruh oleh masing-masing kelompok sehingga tidak mampu mengakomodir semua kepentingan secara bersama.

Munculah ketidakpercayaan dan tidak adanya rasa saling harga-menghargai dari masing-masing kelompok.  Malahan pada tingkatan-tingkatan tertentu dari anggota kelompok, banyak terjadi pertarungan dan unjuk kesaktian yang menghadirkan pepadu-pepadu.  Kekacauan mulai bermunculan di sana-sini.

Dalam kondisi sesak dan kacau-balau inilah muncul Gajah Yuse, yang konon adalah salah satu pembesar kerajaan Blambangan di Jawa yang mendapat bisikan untuk berkelana ke Pulau Lombok.  Dalam beberapa keterangan, terdapat dua pendapat mengenai kata Gajah Yuse.  Ada yang mengatakan Gajah Yuse adalah sebuah nama, sementara yang lain berpendapat bahwa itu hanya sebuah istilah.  Gajah Yuse sendiri bermakna usia besar atau usia panjang.  Gajah berarti besar, Yuse berarti usia. 

Ketika masuk ke Gumi Sasak, berada ditengah-tengah hiruk pikuk keadaan yang saling bertentangan, dimana satu sama lain tidak ada yang sefaham, Gajah Yuse harus bisa menjadi penengah diantara sesaknya norma yang digunakan oleh tiap-tiap kelompok. 

Gajah Yuse sendiri datang dengan membawa sebuah ajaran atau kepercayaan yang mampu menyatukan semua norma yang ada.  Masuklah ajaran Gajah Yuse diantara kesesakan ajaran yang terpecah-pecah itu.  Ajaran ini tentunya masuk ke Lombok dalam keadaan dipaksakan, atau istilahnya di-sek-sek (dipaksa masuk dalam sebuah ikatan yang sudah ada),  masuknya putih ke hitam, membawa ajaran yang beda ketempat yang sama. Dari kondisi ini juga kemudian istilah Sasak diambil jauh di kemudian hari.

Ajaran itu dikenal dengan sebutan pangarse suci, sebuah kalimat suci berisi kebenaran yang tidak tercampur dengan kekeliruan atau kesalahan.  Kalimat suci itu mengajak manusia untuk mendekat kepada sang pencipta yang bersifat tunggal atau esa yang disebut Wujud Nunggal.  Inilah ajaran pertama dari Pangarse Suci.  Sang pencipta ini tidak disebutkan namanya, hanya diyakini hanya satu dan pengatur kehidupan yang ada. Ajaran ini meyakini bahwa Wujud Nunggal ini yang menciptakan dan mengatur alam semesta dan seisinya.  Dalam perkembangannya akhirnya wujud nunggal ini dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Esa.

Setiap orang yang percaya kepada wujud nunggal ini kemudian akan diberikan tingkat atau maqam kedua yakni Jaye Sakti.  Pada maqam ini, seseorang akan memiliki, atau dianugerahkan kelebihan atau kesaktian.  Jaye Sakti ini ini melekat pada orang-orang yang diberikan kelebihan khusus berupa tutur parestu.  Yakni sebuah kalimat yang direstui Sang Wujud Nunggal.  Tutur katanya bertuah dan diiringi dengan kebenaran dan bukti-bukti yang nyata maupun tidak nyata (tidak bisa disaksikan secara zahir, melainkan secara pandangan bathin/ghaib)

Maqam ini mengharuskan sesorang untuk berjuang mempersembahkan hidupnya, jiwa dan raga dalam sebuah dharma bhakti sebuah perbaikan kepada diri, keluarga dan masyarakat sekitar.  Sikap ini diwujudkan dalam bentuk bahu membahu atau gotong royong, saling menghormati, menyayangi dan menasihati tentang kebaikan dan kesalahan-kesalahan.

Maqam Jaya Sakti kemudian akan beranjak ke maqam ketiga, Jaring Sutra.  Apabila sesorang telah memiliki sifat Jaye Sakti, yang berarti telah memahami dasar ajaran Pangarse Suci secara mendalam, maka akan menghasilkan sebuah sikap ataupun budi pekerti yang luhur ketika berinteraksi dengan alam dan kehidupan.  Bukan hanya dengan sesama, akan tetapi terhadap semua mahluk seperti; hewan buruan, hewan peliharaan, hutan, air dan keseluruhan alam, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari ciptaan sang wujud nunggal.   

Budi pekerti yang baik inilah yang kemudian harus dipraktekkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian disebut sebagai Jaring SutreJaring Sutre ini sebenarnya sebuah sistem pengajaran atau syiar-syiar terhadap keyakinan tersebut.  Akan tetapi, metode syiar yang dilakukan bukan mengedepankan pidato, orasi atau melalui penyampaian secara lisan, akan tetapi lebih mengedepankan contoh-contoh secara praktikal.   

Munculah kemudian awiq-awiq tak tertulis mengenai batasan hak atas kepemilikan lahan yang tidak boleh saling ganggu.  Muncul juga aturan-aturan mengenai tata cara berbuat di dalam hutan misalnya, ataupun cara-cara berburu hewan buruan yang tidak boleh berlebihan.  Intinya, Jaring Sutre ini mengajarkan masyarakat untuk memandang secara global mengenai hidup dan kehidupan tanpa harus banyak bicara.  Ikuti apa yang dilakukan tetua-tetua tanpa harus banyak bertanya, karena pengajaran itu bukan hanya melalui kata-kata akan tetapi juga melalui karya dan sikap nyata. (Ht-01)

Baca: Sasak yang Sesek (1)

Edisi berikutnya, akan dilanjutkan dengan Lelawun Sukme dan Ayu Ning Sukme-red