Catatan Redaksi: Pada edisi “Sasak yang Sesak: Pangarse Suci (2)” sebelumnya, tim redaksi NP Lombok membuat kekeliruan dengan tidak meletakkan salah satu tingkatan (maqom) ajaran yang merupakan rangkaian dari ajaran Pangarse Suci. Tingkatan itu adalah “Jaye Prane” yang mestinya berada pada maqom ketiga setelah maqom Jaya Sakti. Jaya Prane ini untuk membuktikan kedekatannya dengan sang maha pencipta dan telah diberikan kelebihan-kelebihan, sesungguhnya dia akan mempersembahkan bhakti hidupnya, ragawinya, rohaninya, untuk dharma. Dia sumbangkan hidupnya untuk perbaikan-perbaikan menuju kebenaran.
NPLOMBOK.id-Setelah maqom Jaring Sutre, atau kemampuan melakukan syiar dengan contoh-contoh, maqom berikutnya adalah Lelaun Sukme. Orang yang telah mencapai tingkat ini dicirikan dengan kelembutan hati, karena dengan kelembutan hati inilah hakikat ketuhanan bisa dicapai. Pada titik ini, pengakuan tentang makhluq, baik manusia maupun alam berada pada kondisi tertinggi saat dihadapkan pada sang pencipta. Bahwasanya, semua kejadian, bencana maupun manfaat, salah atau benar, harus dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari Wujud Nunggal. Tidak ada lagi kebencian pada keadaan yang menimpa diri dan tidak ada marah manakala dizalimi. Yang ada hanyalah sebuah keyakinan bahwa semua keadaan itu juga diciptakan. Maka yang tersisa hanyalah kelembutan dan kasih sayang.
Sikap kelembutan dan kasih sayang ini kemudian akan menjelma secara zahir dalam perbuatan, tingkah laku, tutur kata dan budi pekerti, baik kepada sesama manusia maupun keseluruhan unsur di alam ini.
Alam dan seisinya (makhluq) beserta semua yang melekat pada dirinya, baik sifat-sifat yang nampak maupun tidak nampak adalah ciptaan. Sehingga keseluruhan makhluq dan benda-benda yang ada, seperti tanah, air, udara, matahari, bintang-bintang, pepohonan dan lain-lain diadakan sang pencipta bukannya tanpa maksud. Akan tetapi saling melengkapi satu sama lain, sehingga semuanya harus dihormati, dijaga, dilestarikan, dihadapi dengan kasih sayang karena seolah-seolah semuanya memiliki jiwa. Jiwa sebagai sebuah representasi keberadaan Sang Wujud Nunggal. Maka dimanakah kemudian ada ketidak lembutan dalam berinteraksi dengan semuanya?
Keseluruhan ciri-ciri ini, apabila sudah melekat kuat pada seseorang, maka tingkatan berikutnya yang akan dicapai yakni Ayu Ning Sukme, atau keindahan jiwa. Sebuah kondisi memancarnya cahaya kilau kemilau dari jiwa atau hati sesorang. Pada maqom tertinggi ini, jiwa seseorang seakan-akan melebur dengan wujud nunggal. Pandangan tidak lagi menggunakan mata zahir akan tetapi mata bathin, demikian juga pendengaran maupun indera-indera yang lain. Jiwa orang lain seolah-olah bisa terbaca. Hal-hal ghaib yang sebelumnya tidak tertangkap melalui panca indera, kini sudah bisa tersingkap. Siapapun yang berada pada tingkatan ini mampu berada pada semua makhluq, sehingga ia seolah-seolah berbicara dengan dirinya sendiri maupun bicara dengan hewan dan pepohonan.
Orang-orang yang berada pada maqom ini biasanya akan melepaskan diri hiruk-pikuk kehidupan duniawi. Mereka lebih banyak menyepi serta berkomunikasi dengan sang pencipta karena kesenangan dunia tidak lagi menarik dibanding kesenangan akan kedekatannya dengan sang pencipta.
Inilah ajaran yang dibawa Gajah Yuse, yang konon menurut Miq Darman, setelah ajarannya mulai diterima dan menyebar dengan perantaraan murid-muridnya dia lalu menghilang. (Menurut Miq Darman, makam Gajah Yuse ada di Suradadi-red). Kepergian Gajah Yuse diiringi oleh sebuah misteri tentang sebuah maqam yang kemudian diberikan kepadanya oleh orang-orang di masa sesudahnya yakni ingsun manunggal kesareng inggil. Sebuah maqom yang tidak pernah terdengar lagi pada masa-masa berikutnya.
Inilah ajaran Gajah Yuse yang menyebar cepat ke penduduk Pulau Lombok. Kedalaman ajarannya ini mampu menyatukan kesesakan di hati penghuninya dan diterima dengan baik oleh semua pihak. Babak baru kehidupan di Pulau Lombok dimulai. Tata cara berkehidupan dan berinteraksi diantara masing-masing kelompok mulai menemukan titik terang karena norma kebenaran mulai dikenal, diakui, diterima dan dipatuhi bersama-sama.
Keadaan inilah yang kemudian melahirkan beberapa kedatuan di Lombok, yang mana masing-masing kedatuan hidup berdampingan. Dan kelak, norma inilah juga yang memudahkan ajaran Islam bisa diterima luas oleh Suku Sasak. Sebuah ajaran yang dimulai dengan, Subhanallah, bumi bersyukur, langit memuja. (Ht)