NPLOMBOK.id-Berbicara tentang sejarah selalu menarik, apalagi sejarah itu terkait langsung dengan seseorang yang berada dalam lingkup yang diceritakan. Sejarah adalah sesuatu yang telah terjadi di masa lampau. Supaya kejadian di masa lampau itu bisa dikatakan sebagai sejarah, para ahli sejarah mensyaratkan adanya bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, misalnya adanya peninggalan berupa catatan maupun situs tertentu.
Khusus mengenai sejarah penduduk yang mendiami Pulau Lombok atau disebut suku Sasak, para ahli sejarah maupun budayawan memiliki pendapat beragam karena kurangnya literatur yang ada. Masing-masing memiliki pendapat tergantung dari sisi mana bukti literatur itu diambil. Ada yang menyimpulkan berdasarkan peninggalan makam-makam, perkampungan adat, ragam bahasa dan adat istiadat, dongeng tentang asal-usul nama tempat, hingga kepada jenis pakaian dan alat rumah tangga yang digunakan. Pada akhirnya, tentu diperlukan sebuah upaya penggabungan sejarah yang diambil dari potongan-potongan sejarah itu sehingga bisa menjadi sebuah catatan sejarah yang lebih komprehensif.
Adanya perbedaan ini tentu harus dimaknai dengan bijak, bahwasanya, sejarah yang terdengar maupun tercatat, akan bisa dijadikan acuan tentang identitas sebuah kelompok masyarakat sehingga semangat untuk mempertahankan nilai-nilai kebajikan dan keluhuran tetap terjaga di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai media yang peduli terhadap nilai-nilai luhur masa lalu, Redaksi NPLombok, merasa berkewajiban untuk menelusuri sejarah, adat istiadat, budaya dan keseharian masyarakat Sasak dalam sudut pandang berbeda. Bahan yang akan ditampilkan berasal dari berbagai sumber seperti sejarawan, budayawan, tokoh adat maupun sumber-sumber lain berupa literatur yang telah diterbitkan. (Sebagai catatan, NP adalah kependekan Nuras Pacu, sebuah ungkapan dalam Bahasa Sasak yang berarti mengikuti nilai-nilai masa lalu dalam hal kebaikan dan ketekunan dalam mencari kebenaran).
Pada tulisan pertama ini, ada baiknya kalau kita mulai dengan sejarah masuknya penjajah Belanda ke Pulau Lombok, yang dirangkum dari berbagai sumber, terutama wikipedia.
Intervensi Belanda di Lombok terjadi hamper bersamaan dengan invasi ke Karangasem, Bali yang terjadi pada tahun 1894, yang pada akhirnya menjadikan Bali dan Lombok terkolonisasi secara penuh sebagai bagian dari Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Penduduk asli Pulau Lombok adalah Suku Sasak, yang memeluk Islam sejak abad ke-16. Kelompok-kelompok bangsawan Bali dari Kerajaan Karangasem kemudian mulai menguasai bagian barat pulau Lombok. Salah satu dari mereka, yaitu kelompok Bali-Mataram, berhasil menguasai lebih banyak daripada kelompok asal Bali lainnya, dan bahkan pada akhirnya menguasai keseluruhan pulau ini pada tahun 1839. Sejak saat itu kebudayaan istana Bali juga turut berkembang di Lombok.
Hubungan dengan Inggris mulai berkembang, diawali oleh G.P. King yang memegang semua mandat perdagangan luar negeri Inggris. Namun Belanda berhasil menghentikan pengaruh Inggris dengan menandatangani perjanjian dengan kelompok Bali-Mataram pada tahun 1843. Kelompok Bali-Mataram adalah sekutu Belanda selama intervensi Belanda di Bali pada tahun 1849, dan atas bantuannya kelompok ini diberi kedudukan sebagai penguasa vasal atas wilayah Karangasem di Pulau Bali.
Pemberontakan Sasak
Pada tahun 1891 terjadilah pemberontakan dari masyarakat muslim Sasak di Lombok Timur terhadap penguasa Bali-Mataram, yaitu Anak Agung Gde Ngurah Karangasem. Pemberontakan ini, yang merupakan kelanjutan dari pemberontakan sebelumnya pada tahun 1855 dan 1871, yang sebelumnya berhasil ditumpas oleh penguasa Bali-Mataram. Hal itu terjadi karena penguasa Bali-Mataram tersebut meminta masyarakat Sasak mengumpulkan ribuan orang untuk membantunya menyerang Kerajaan Klungkung di Bali, dalam upayanya untuk menjadi penguasa tertinggi di Bali.
Pada tanggal 25 Agustus 1891, putra penguasa Bali-Mataram yaitu Anak Agung Ketut Karangasem dikirim beserta 8.000 orang tentara untuk menumpas pemberontakan di Praya, yang termasuk wilayah Kerajaan Selaparang. Pada tanggal 8 September, pasukan kedua di bawah putra lainnya Anak Agung Made Karangasem yang berkekuatan 3.000 orang dikirimkan sebagai pasukan tambahan. Karena tentara kerajaan tampak dalam kesulitan untuk mengatasi keadaan, diminta lagi bantuan penguasa bawahan Karangasem, yaitu Anak Agung Gde Jelantik, untuk mengirimkan 1.200 orang pasukan elit untuk menuntaskan pemberontakan. Perang berkecamuk berkepanjangan sejak 1891 hingga 1894, dan tentara Bali-Mataram yang lebih canggih persenjatannya dilengkapi dengan dua kapal perang modern, Sri Mataram dan Sri Cakra, berhasil menduduki banyak desa yang memberontak dan mengelilingi kubu perlawanan Sasak yang terakhir.
Pada tanggal 20 Februari 1894, yang secara resmi Sasak mengirimkan utusan untuk meminta intervensi dan dukungan Belanda. Belanda, yang melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk memperluas kendali mereka di Hindia Timur, memilih untuk memihak Sasak yang telah meminta perlindungan kepada mereka. Belanda segera saja mulai mengganggu impor senjata dan perlengkapan penguasa Bali-Mataram, yang selama ini mereka datangkan dari Singapura.
Intervensi Belanda (Juli 1894)
Blokade impor yang dilakukan Belanda ternyata tidak cukup untuk menghentikan perang, dan permintaan agar Mataram menyerah juga ditolak. Pada Juli 1894, Belanda berkeputusan untuk mengirimkan ekspedisi militer dengan tujuan menggulingkan kekuasaan penguasa Mataram. Tiga kapal dikirim dari Batavia, yaitu Prins Hendrik, Koningin Emma, dan Tromp, untuk mengangkut 107 perwira, 1.320 tentara Eropa, 948 tentara pribumi, dan 386 kuda.
Sejak bulan Agustus 1894, pasukan Bali mulai menentang kehadiran militer Belanda dalam konflik tersebut. Pada malam hari tanggal 25 Agustus 1894, secara mendadak mereka menyerang kamp militer Belanda yang berpenghuni 900 orang yang didirikan di dekat Istana Mayura di Cakranegara, dan berhasil menewaskan lebih dari 500 orang tentara, pelaut, dan kuli yang berada di sana. Di antara korban tewas serangan tersebut adalah Jenderal P.P.H. van Ham, panglima pasukan Belanda. Belanda kemudian mundur dan berkubu dalam benteng di pinggir pantai.
Bala bantuan Belanda (November 1894)
Belanda kembali dengan bala bantuan tambahan di bawah komando Jenderal Vetter. Mataram diserang hingga benar-benar hancur. Pada tanggal 8 November 1894, Belanda secara sistematis menembakkan meriam kepada posisi pasukan Bali di Cakranegara, sehingga menghancurkan istana, menewaskan sekitar 2.000 orang Bali, sementara mereka sendiri kehilangan 166 orang. Pada akhir November 1894, Belanda telah berhasil mengalahkan semua perlawanan Bali, dengan ribuan orang Bali menjadi korban tewas, menyerah, atau melakukan ritual puputan.
Lombok dan Karangasem selanjutnya menjadi bagian dari Hindia Belanda, dan pemerintahan dijalankan dari Bali. Gusti Gede Jelantik diangkat sebagai regen Belanda pada tahun 1894, dan ia memerintah hingga tahun 1902. Harta kekayaan kerajaan Lombok disita oleh Belanda, di antaranya termasuk 230 kilo emas, 7.000 kilo perak, dan perhiasan dan karya sastra (termasuk Negarakertagama). Bangli dan Gianyar tidak lama kemudian juga mengakui kedaulatan Belanda, namun wilayah Bali selatan terus melawan sampai terjadinya intervensi Belanda di Bali (1906) berikutnya.
Baca edisi selanjutnya, “Sasak yang Sesak” (**)