NPLOMBOK.id-Lampu di rumah Aceng mulai sering mati.  Sesuatu yang sebelumnya nampak mustahil itu, kini ia dapati secara rutin dengan intensitas makin tinggi tiap bulannya.  Sebagai orang yang penuh optimisme dalam memandang hidup, minimal demikian pengakuan Aceng pada dirinya sendiri, ia tentu tidak kehabisan akal dalam mencari solusi, terutama menyikapi rendahnya prosentase batteri handphonennya. Solusi itu adalah, ke rumah Edon.  “Yes,” katanya tanpa sadar.

Tetapi tentu saja solusi itu tidak kemudian berjalan mulus dan instan.  Ia harus memperoleh izin istrinya yang cantik dan manja.  Dan itu pasti tidak mudah.

“Side selalu begitu kak.  Tiap mati lampu pasti kita ditinggal sendiri di rumah,” kata istrinya yang manja dengan wajah manyun.

“Ini penting Dik, saya harus ngecas hp karena akan dihubungi Pak Zakir.  Katanya ada hal penting yang akan dia bicarakan pada saya,” jelas Aceng penuh harap.

“Huh, kalau teman-temannya semua penting.  Kalau kita hanya dijanji-janji saja mau keluar beli bakso bakar di taman.”  Istrinya makin manyun.

Aceng terdiam.  Membenarkan istrinya di satu sisi, dan menyalahkannya di sisi lain.  Ia berpendapat kalau keluar ramai-ramai itu tidak produktif dan kurang inovatif, apalagi hanya untuk sekedar membeli bakso bakar.  Tapi ia akhirnya menemukan solusi lagi.

“Hmm, gini sudah Dik, saya akan belikan nanti bakso bakar sepulang dari rumah Edon,” kata Aceng tersenyum.

Istrinya terdiam.  Masih dengan wajah dimanyunkan.  “Iya sudah, jangan lupa sosis bakarnya juga ya,” katanya dengan merubah sedikit warna wajahnya.

Dengan agak berat ia menganggukkan kepala.  Ia membayangkan kesulitan baru seiring permintaan istrinya.  Uangnya hanya tinggal 10 ribu rupiah, dan sudah dianggarkan untuk membeli bensin Astrea Star bututnya.  Dan anggaran itu sekarang harus ia ubah menjadi dua point super penting nan tak terelakkan.  Bakso dan sosis bakar.

——-***——–

Dari pintu pagar, ia mendapati rumah Edon gelap gulita. Begitu memasukkan motornya ke halaman, barulah ia dapati kalau di teras Aceng ada sesorang.  Dan, orang itu ternyata Ustadz Salman.

“Wah, ada pak ustadz juga ternyata.  Apa khabar Stadz?” Aceng langsung nyerocos setelah mengucapkan salam.

“Iya Ceng, di rumah mati lampu, saya ke sini tadinya mau numpang ngecas hp, tapi di sini juga ternyata mati juga.  Kalau rumah ente gimana Ceng?” tanya Ustadz Salman.

Aceng menggaruk kepalanya yang tidak gatal.  “Sama stadz, mati juga.  Makanya sekarang ini serba susah.  Sebentar-bentar mati.  Ini kan merugikan rakyat.  Menyusahkan banyak orang.  Masak urusan lampu saja menjadi hal sulit bagi pemerintah yang katanya sayang rakyat.  Saya mau demo saja stadz kalau begini terus” jawab Aceng panjang lebar sambil menunjukkan kekesalannya.

“Loh, koq jadi emosi Ceng, santai saja.  Kalau ente mau demo, demo saja, kenapa mesti ribut-ribut?” kata Ustadz Salma kebingungan.

“Hehe, maaf Stadz, tapi ini sudah keterlaluan,” bela Aceng.

“Gini Ceng.  Urusan lampu ini bukan dalam kuasa kita memperbaiki keadaannya.  Itu urusan pemerintah. Kita hanya mampu menyikapinya saja, kalau bisa justru momen ini kita jadikan sebagai pengingat kepada Allah.  Supaya kita lebih mensyukuri nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita.  Maka sudah semestinya kita tidak mesti merasa terhalang untuk melakukan aktivitas ibadah kita gara-gara lampu mati,” terang Ustadz pelan.  Aceng terdiam. 

Ustadz Salman memperbaiki duduknya.  “Gini Ceng, Sabar dan syukur ibarat kendaraan kita dalam segala urusan hidup.  Kalau kita menemukan jalan yang lurus, tanpa halangan, gunakanlah kuda syukur.  Kalau jalan kita licin dan berbatu, gunakan kuda sabar.  Dan semestinya, kita selalu membawa kedua kuda kita dan menggunakannya secara bersamaan pada setiap keadaan.  Bukankah dua kuda itu akan lebih hebat dibanding satu kuda saja?” jelas Ustadz Salman.

Aceng makin terdiam.  Dia mulai sadar.  Bahwasanya, kalau menghadapi istri tercinta, harus menggunakan dua kuda pada waktu bersamaan.  Aceng diam.  Ustadz Salman diam.

“Omong-omong, Edon kemana Stadz? Koq dari tadi ndak kelihatan?” tanya Aceng memecah kesunyian.

“Oh, dia tadi keluar cari korek api.”

“Koq lama ya Stadz?”

“Iya Ceng, kebetulan saya sekalian nitip dibelikan bakso dan sosis bakar di taman. Anak-anak minta dibelikan tadi,” terang Ustadz Salman.

“Ah, telat,” jawab Aceng tiba-tiba.

“Apa yang telat Ceng.”

“Eh, ndak stadz.  Maksud saya, yang minta dibelikan anak-anak atau istri Stadz?” jawab Aceng sambil bertanya, dan menghindar.

“Ya, istri juga dong,” jawab Ustadz Salman. Aceng diam, tidak lagi berkomentar.  “Ah, ternyata Pak Ustadz bisa juga takut sama istri,” bathin Aceng. (**)