NPLOMBOK.id-Mendapat protes dari sang istri, Aceng akhirnya turun gunung ikut bergotong royong di Masjid Baabul Khair. Masjid berusia sekitar 40 tahun di tengah-tengah kampung Bungasari, kampungnya Aceng memang sudah pantas untuk direnovasi karena terlihat kecil dan beberapa sudut temboknya retak akibat gempa.
Aceng bukannya tidak mau ikut gotong royong. Hanya saja ada beberapa pekerjaannya yang belum selesai, yang pada istri tercintanya, ia katakan sebagai, memerlukan konsentrasi tingkat tinggi. Tapi demi mengurangi intensitas nyinyir cenderung berlebihan, ia akhirnya keluar dengan hati mendongkol. “Huh, perempuan memang tidak faham tentang mood kerja,” gerutunya.
Untuk diketahui, istri Aceng orangnya lembut. Hampir tidak pernah bicara keras. Protes-protes disampaikan dengan penuh kelembutan ala ibu-ibu bijaksana di sinetron. Kalau kesal atau marah, maksudnya “betul-betul marah”, senjatanya hanya diam, manyun, memalingkan wajah dan…….air mata. Aceng hanya memiliki satu perbendaharaan kata untuk menggambarkan kondisi itu, “sungguh mengerikan.” Tentu saja perbendaharaan kata ia hanya simpan dalam hati.
Setelah beberapa kali mengangkat sisa-sisa bangunan yang diruntuhkan, nafas Aceng mulai turun naik. Dengan pasrah ia ngeloyor ke sudut halaman beratap anyaman daun kelapa yang sengaja dibuat untuk istirahat sementara. Sambil mengatur nafas dan mengangkat gelas air es ke mulutnya, pandangannya diarahkan ke kesibukan masyarakat. Benar-benar sibuk. Masing-masing terpusat pada urusannya. Ada yang menggali, mengangkat pasir, mendorong arco berisi tanah, mengaduk campuran semen, membengkokkan besi. Tidak ada yang tidak beraktifitas. Kecuali dirinya, dan….pandangannya kesana kemari. Mencari orang lain selain dirinya yag tidak beraktifitas. Ketemu. Haji Ahmad.
Haji Ahmad tertatih-tatih melangkah menuju tempat Aceng. Menurut yang didengarnya, Haji Ahmad telah berusia 70 tahun atau lebih. Sisa-sisa kekuatan masa lalu masih nampak pada otot dibalik kulitnya yang keriput. Dia meletakkan linggis yang dipakainya untuk menggali pondasi masjid yang akan diganti.
“Istirahat dulu pak aji,” sambut Aceng sambil menuangkan air putih dingin lalu diberikannya pada Haji Ahmad. Haji Ahmad duduk disebelah Aceng, menyeruput air es perlahan-lahan.
“Pak Aji, katanya masjid ini sudah berusia 40 tahun ya,” Aceng membuka pembicaraan. Haji Ahmad mengangguk sambil pandangannya diarahkan ke orang yang bergotong royong. Antara pandangan tajam dan kosong. Ia seolah-olah tidak memandang ke keramaian. Lebih tepatnya menerawang. Diam. Aceng jadi tidak enak, tapi tidak tahu harus berkomentar apa.
Tiba-tiba Haji Ahmad tersenyum. Ia memalingkan pandangannya pada Aceng. “Saya senang, Tuhan Yang Memiliki kita, memberikan saya kesempatan ikut gotong royong membangun masjid ini,” katanya.
“Berarti, untuk ketiga kalinya saya ikut membangun masjid ini, dan kedua kalinya saya ikut merusaknya,” lanjut Haji Ahmad.
Kemudian mengalirlah cerita Haji Ahmad. Seingatnya, masjid ini dibangun pertama kali saat usianya masih kecil. Ia ingat saat ikut mengangkat tanah dan batu, hingga malam hari. Saat itu belum ada listrik sehingga untuk penerangan mereka menggunakan minyak biji jarak ataupun daun kelapa. Masjid itu dulunya masih terbuat dari tanah dan pagar anyaman bambu dengan atap ilalang. Saat usianya menginjak 40 tahunan, masjid itu mulai terasa sempit dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan. Para tokoh pun memutuskan untuk membangun masjid yang lebih layak.
“Saat pembangunan kedua itu, usia saya sudah 40 tahunan. Saya dipilih jadi kepala tukang yang mengorganisir tukang batu, besi dan kayu serta masyarakat yang bergotong royong,” katanya dengan senyum mengembang.
“Dan sekarang, Alhamdulillah saya masih diberi umur untuk ikut meneteskan keringat diantara pondasi ini, sementara banyak orang-orang yang dulu ikut menyumbangkan tenaga dan harta benda telah meninggal. Sosok-sosok mereka seperti memenuhi semua sudut. Ikut meneteskan keringat dan darah dari luka lecet di tangan dan kaki mereka. Luka yang terasa tidak lebih dari hinggapan lalat di ujung rambut mereka. Kulit ari mereka yang berguguranpun menyatu dalam tumpukan tanah dan batu. Mereka benar-benar ikut bekerja tanpa pernah berharap untuk dikenang oleh siapapun. Hanya sebuah kepatuhan mutlak terhadap perintah dan sebuah keyakinan dalam dada,” sambung Haji Ahmad dengan pandangan nanar. Sudut matanya berkilat.
Aceng tercekat. Penatnya hilang. Ia merasa disinggung dengan cerita itu, sekalipun ia sangat yakin bahwa Haji Ahmad tidak bermaksud menyinggungnya. Ia merasa belum berkeringat, belum lecet tangan dan kakinya, masih kinclong, sementara ia mendapati dirinya berada dibawah naungan sambil menikmati air dingin nan segar.
Ia teringat istrinya yang cerewet memintanya gotong royong dari kemarin. Ia memerlukan kalimat “cerewet” itu untuk membangunkannya yang tertidur dalam sadar. Disambarnya linggis di dekat Haji Ahmad. “Pak Aji istirahat saja disini, saya mau lanjutkan kerja,” katanya tanpa menunggu jawaban. Haji Ahmad melongo. (**)