NPLOMBOK.id-Aceng memperoleh ilham.  Ilham yang ia dapatkan secara tidak sengaja saat sedang berfikir keras tentang anggaran beras yang diminta istrinya.  Sebuah permintaan di pagi yang cerah, sebelum kopi hitam ia dapatkan.   Tapi kicauan kecial, sejenis burung kecil yang biasa berkicau dipagi hari, terasa sangat indah.  Suaranya bersahutan dalam irama teratur dan nada-nada tinggi dalam susunan oktaf beragam.  Suara-suara itu hadir dalam kesibukan mereka bergerak, terbang, melompat, mematuk kesana-kemari.  Gerakannya terlihat tidak jelas dan tanpa maksud.  Dan itu memerlukan energi luar biasa besar.  Dan untuk menghasilkan energi sebesar itu, diperlukan pasokan makanan dalam jumlah besar pula. 

“Inilah solusi anggaran,” bathinnya.

Ia bergegas menemui istrinya yang cantik nan manja.  “Dik, aku menemukan solusi untuk masalah-masalah kita.  Bukan sembarang solusi, tapi ini ilham,” kata Aceng bersemangat.  Istrinya tersenyum sambil mengaduk kopi hitam untuk Aceng.  Cantik sekali.

“Apa itu kak?  Side dapat kerjaan jadi PNS?”

“Bukan.  Saya akan memelihara burung.  Kalau sudah jinak dan pandai berkicau, kita akan jual,” jawab Aceng bangga.

Sontak wajah istrinya berubah.  Bibirnya yang tadi membentuk huruf U seperti bulan sabit yang indah, berubah menjadi huruf O seperti bulan purnama.  Manyun, dan menakutkan, setidaknya bagi Aceng.

“Sudahlah.  Side jangan mengkhayal.  Sudah banyak orang lain yang melakukannya.  Urus saja yang sudah ada,” istrinya menjawab ketus.  Kopi yang sudah hampir tuntas diaduk, ia tinggalkan begitu saja.

Aceng diam.  Ia heran terhadap jalan pikiran perempuan.  Ia terperangah oleh kekurangmampuan mereka dalam berinovasi, menemukan visi dan misi.  Bahwa hidup itu harus direncanakan, lengkap dengan alur-alur dan tokohnya, peluang-peluangnya, hambatan-hambatannya.  Dan rencana itu bisa saja berubah-ubah.  Dan istrinya hari ini menjadi tokoh antagonis, pembenci perubahan.  Seperti Sangkuni dalam Bharatayudha yang hanya menginginkan kejayaan kaum Kurawa, atau Arya Dwipangga dalam Tutur Tinular yang menyukai hal-hal tidak populer.

Ia kehilangan semangat.  Dirinya merasa terpenjara.  Ia ingin bebas seperti kecial.  Dikeluarkannya Astrea Star bututnya.  Diarahkannya ke rumah Edon.  Kebetulan ia tidak pernah bertemu dalam beberapa hari ini.

Ia dapatkan rumah kawannya sepi.  Maksudnya ramai.  Bukan, sepi tapi ramai.  Duh, ini gimana sih?  Tepatnya gini, rumah Edon sepi dari penghuni sesungguhnya yakni Edon dan istrinya, tapi ramai oleh penghuni lain.  Kecial.  Ia dapatkan sekitar 6 kecial dalam beberapa sangkar.  Suaranya ramai, bersahutan.  Untuk beberapa kali Aceng kembali terperangah.  Ternyata Edon juga memelihara burung.  Bukan cita-cita lagi, tapi telah dilakukannya.

Dengan kecewa ia putar motor Astrea Star bututnya.  Menuju Ustadz Salman.  Edon ada di sana.  Duduk dengan Ustadz di aula tempat anak-anak mengaji.

“Tumben pagi-pagi begini sudah kemari Ceng?”  Belum sempat duduk, Edon sudah bertanya pada Aceng.

“Lah, terus ente ngapain pagi-pagi sudah di sini juga?” 

“Lho, koq emosi Ceng?” tanya ustadz Salman.

“Iya Stadz, istri di rumah tidak pernah setuju kalau saya punya ide baru tentang pekerjaan.  Ia selalu tidak setuju.  Memang perempuan itu tidak pernah mampu berimajinasi.”

“Memangnya apa ide baru ente?”

“Saya mau memelihara burung kecial stadz.  Saya tangkap atau beli murah lalu saya latih supaya pandai berkicau.  Harganya mahal Stadz.  Kata tetangga saya yang biasa ikut lomba burung, harganya bisa sampai ratusan ribu satu ekor,” jelas Aceng.

Tanpa sadar Ustadz Salman menggaruk-garuk jenggot jarangnya meskipun tidak gatal.

“Hmm, Edon baru saja cerita tentang kecial.  Malahan dia sudah mulai memeliharanya, tapi dia kesulitan melatih burungnya Ceng.  Bukan begitu Don?” tanya Ustadz Salman.

“Iya stadz, ternyata mengajar burung berkicau itu sulit,” jawab Edon.

“Baiklah.  Memang burung itu bisa mengeluarkan suara yang indah dan cantik.  Dan hati itu cenderung pada kecantikan dan keindahan.  Itulah sebabnya orang sanggup membeli burung dengan harga mahal, bukan karena akan diambil dagingnya, akan tetapi untuk membawa ketentraman pada hati melalui indera pendengaran.”

“Tapi tanpa memilikinya pun orang kan masih bisa mendengar suara burung di pepohonan Stadz?” tanya Edon.

“Iya, tapi kecenderungan kita yang lain adalah lebih gembira kalau sesuatu yang kita senangi itu berada dalam penguasaan kita.  Orang mengumpulkan berhektar-hektar tanah bukan untuk dimakan atau dikawininya, akan tetapi dia merasa gembira berlipat ganda manakala ia berada pada posisi menguasainya.  Ia bisa berbuat sekehendaknya pada tanah itu.  Ia mau jual, ia sewakan atau ia tanami sesuka hatinya.  Begitu juga dengan harta.  Ada kita dengar orang memiliki harta yang tidak akan pernah mampu dia habiskan tujuh turunan.  Tapi itupun masih dianggap kurang.  Itulah kecenderungan orang.  Hanya untuk menguasainya,” jelas Ustadz Salman.

“Oh.  Gitu ya Stadz.  Tapi kita kan bicara tentang melatih burung Stadz,” kata Aceng sedikit protes.

“Iya, iya.  Tapi masalah pada hari ini bukan hanya burung saja.  Yang penting ente harus fahami adalah jalan fikiran ente yang meremehkan istri.  Ente hanya mau dia dibawah kekuasaan ente saja, sementara ente tidak pernah mau meletakkan dirinya sebagai makhluk yang amat sangat ente perlukan.  Tapi baiklah, kita lanjutkan dengan burung,” jelas Ustadz Salman.

“Jadi, burung itu memiliki keterbatasan yang amat banyak kalau dibandingkan ente.  Dia tidak pandai bicara, tidak memiliki akal.  Maka kalau ente melatih burung, ente minimal harus menurunkan derajat suara atau kalam ente kepada derajat burung.  Berikan isyarat supaya dia mengeluarkan suara, lalu iringi dengan makanan kesukaannya kalau ia mengikuti isyarat ente.  Begitu terus menerus hingga nalurinya terbiasa.  Biasakan ia memperoleh makanan kalau bersuara.”

Edon mulai bingung.  Tidak lagi memperhatikan penjelasan Ustadz.  Mungkin ustadz jangan dipaksa cerita tentang burung.  Biarkan saja Ustadz itu bicara tentang syariah saja.  Dia mulai ingat istrinya yang cantik dan manja.  Kelelahannya membersihkan rumah, menjaga uang belanja yang amat minim, mengurangi naluri shopingnya.  Dan ia ingat kesenangnnya menguasai istrinya secara membabi buta.

“Ceng, kenapa mengkhayal?” Edon menganggetkannya.

“Gini Ceng, kalau kamu mau piara burung, saya ikhlas kasi semuanya.  Saya ndak mampu,” lanjut Edon.

Aceng bingung.  Pikirannya tidak karuan.

“Koq malah tambah diam?” tanya Edon.

“Gini sudah Don.  Saya ndak jadi piara burung, saya harus hormati pendapat istri di rumah.  Saya harus korbankan keinginan saya karena marahnya istri saya masih jauh lebih penting daripada kicauan burung di dalam sangkar.  Terimakasih ya,” jawab Aceng pelan dan takzim.

Ustad Salman melongo.  Edon melongo. (**)