NPLOMBOK.id-Aceng dapat surprise Sabtu pagi ini. Ustadz Salman berkunjung ke rumahnya ditemani Edon. Ia tidak menyangka akan kedatangan seseorang yang diseganinya.
“Jangan terlalu repot Bung, biasa saja. Jangan sampai ente bertakalluf,” kata Ustadz Salman saat melihat Aceng sibuk keluar masuk memberikan instruksi kepada istrinya. Entah instruksi apa.
“Ndak stadz. Saya hanya mau ingatkan istri kalau Edon dan saya sedang tidak ngopi,” jawab Aceng seadanya. Mendengar jawaban Aceng, Edon melototkan matanya ke arah Aceng. Protes.
“Omong-omong, takalluf itu apa sih stadz,?” tanya Aceng membuang pandangan dari Edon.
“Takalluf itu, manakala ente memaksakan sebuah keadaan yang ente tidak sanggupi, untuk melakukan sebuah kebaikan. Meskipun ente sanggup melakukannya misalnya, tapi akan menyusahkan di kemudian hari,” jawab Ustadz. “Contohnya, niat ente ingin memuliakan tamu dengan mengadakan makanan yang ente ndak punya, lalu ente memaksa istri berhutang,” lanjut ustadz Salman.
Aceng tersipu. Tau aja ustadz ini kalau saya kehabisan kopi gula, katanya dalam hati.
“Omong-omong ustadz dan Edon sudah dari mana? Tumben tidak memberi khabar sebelumnya,” selidik Aceng.
“Kami memang sengaja kemari. Edon cerita kalau ente seringkali tidak adzan di masjid terutama waktu Maghrib, padahal ente sedang di rumah,” jawab Ustadz Salman dengan nada lebih serius.
Sontak, pandangan Aceng diarahkan ke Edon, seolah protes pada temannya itu karena menceritakan hal-hal yang kurang penting kepada ustadz.
“Ah, Edon ini memang kurang kerjaan stadz. Masak hal-hal begitu harus disampaikan ke Ustadz,” kilah Aceng.
“Mau begitu atau begini, ente mesti cerita alasannya dong. Waktu Maghrib kan biasanya ramai jamaah. Lagian Edon katakan kalau jamaah suka suara ente kalau adzan. Yaah, sejenis rindu lah,” kata Ustadz Salman sambil tersenyum.
“Gini stadz, dalam satu bulan ini saya mulai mencoba puasa Senin Kamis. Kan saya harus berbuka puasa dulu. Jadi saya ndak adzan karena pasti akan lambat. Bukankah Ustadz sering menyampaikan fadilah puasa ke kami?” jawab Aceng bangga.
Ustadz Salman diam beberapa saat. Aceng dan Edon pun terdiam. Ustadz Salman memperbaiki posisi duduknya, lebih mendekat kepada kedua sobatnya itu.
“Baik. Saya akan ceritakan kalian kisah Bilal, muadzin pertama yang dipilih langsung oleh Rasulullah SAW,” kata Ustadz memecah keheningan. Aceng dan Edon tidak menjawab. Merekapun memperbaiki posisi duduknya.
Ustadz Salman memulai ceritanya. Menurutnya, Bilal Bin Rabbah adalah salah satu dari lima sahabat yang awal menyatakan keimanannya. Sepeninggal Rasulullah, Bilal meminta izin kepada Khalifah Abu Bakar meninggalkan Madinah. Beliau diizinkan dan ikut dalam pasukan Fathul Islam (pendudukan Islam) ke Syam. Disanalah akhirnya Bilal bertempat tinggal.
Rindu akan Rasulullah, penduduk Madinah meminta kepada Khalifah kedua masa itu, Umar Bin Khattab untuk meminta kesediaan Bilal kembali dan mengumandangkan adzan.
Umar akhirnya berangkat ke Syam menemui Bilal. Akan tetapi, sekali lagi Bilal berkata lirih,”aku tak akan sanggup Umar.” Air mata kian deras mengalir di pipinya. Sesekali, Bilal memejamkan mata. Dia tarik napasnya dalam-dalam.
Umar terus membujuk Bilal. “Tapi, ummat muslim di Madinah sedang membutuhkanmu, Bilal. Mereka ingin mendengarkanmu mengumandangkan adzan. Mereka rindu suaramu. Mereka rindu lantunan adzanmu, wahai muadzin Rasulullah!” kata Umar.
Mata Bilal kian berkaca-kaca. Dia menangkap harapan Umar yang begitu besar agar dia mau mengumandangkan adzan lagi di Madinah. Apalagi Umar sampai menempuh jarak yang begitu jauh dari Madinah ke Suriah.
Namun, berat bagi Bilal. Dia tak sanggup menanggung rindu teramat dalam jika mengingat Madinah dan mengumandangkan adzan. Bilal tak mampu menanggung rasa rindu terhadap Rasulullah yang teramat berat. Bagi Bilal, hari di mana Rasulullah wafat adalah hari yang paling mempengaruhi jalan hidupnya. Umar pulang dengan tangan hampa.
Beberapa waktu berselang, dalam sebuah tidurnya Bilal mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Dalam mimpi tersebut, Rasulullah menyapa Bilal, “Ya Bilal, wa maa hadzal jafa? (Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?”)
Kemudian Bilal pun terbangun, tanpa berpikir panjang ia segera mempersiapkan perjalanan ke Madinah untuk menziarahi makam Rasulullah SAW.
Setibanya di Raudhah, Bilal tak mampu lagi menahan haru. Dia menangis, rindu pada Rasulullah SAW, Sang Kekasih Allah. Saat itulah kemudian datang dua pemuda yang mulai beranjak dewasa menemui Bilal bin Rabbah, yang matanya sembab karena tangis itu.
Mereka berdua adalah cucu kesayangan Rasulullah, yakni Hasan dan Husein. Bilal yang semakin termakan usia, mencoba memeluk kedua cucu kesayangan Rasulullah tersebut.
Dan Husein berkata kepada Bilal, “Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek.”
Bersamaan dengan itu, Umar bin Khattab juga sedang melihat pemandangan mengharukan tersebut. Sayyidina Umar juga memohon Bilal agar mau mengumandangkan adzan sekali lagi.
“Baiklah, aku akan melakukannya lagi,” jawab Bilal yang disambut haru Umar, Husein dan Hasan.
Tatkala waktu sholat tiba, Bilal naik ke tempat dahulu ia terbiasa mengumandangkan adzan pada masa Rasulullah masih hidup. Ia mengambil nafas dalam-dalam, kemudian suara merdunya yang sangat khas itu terdengar kembali. Dihempas oleh angin padang pasir ke seluruh penduduk Madinah.
Ketika lafadz “Allahu Akbar…” dikumandangkan oleh Bilal, mendadak seluruh Madinah senyap. Segala kegiatan terhenti. Semua orang terkejut. Suara yang telah bertahun-tahun hilang, dan begitu dirindukan itu, telah kembali. Suara yang mengingatkan pada sosok Rasulullah nan agung.
Suara lantang sang “Muadzin Rasul” menggema ke semua penjuru kota. Seketika orang-orang yang mendengar lantunan adzan itu terdiam. Mereka terhenyak, serasa kembali ke masa Rasulullah. Dan bertanya “Apakah Rasulullah kembali?”
Saat Bilal mengumandangkan lafadz “Asyhadu allaa ilaha illallah,” seluruh warga Madinah berlarian ke arah sumber suara itu, sambil berteriak histeris. Sewaktu Bilal sampai pada lafadz “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah…” Suaranya yang menggema menjadi terdengar parau. Dadanya bergetar, dan hatinya bergemuruh penuh kerinduan. Bilal terisak menyebutkan nama orang yang paling dirindukannya.
Air matanya mengalir begitu saja, sambil terlintas sebuah kenangan dalam ingatan Bilal, yang teringat sosok Rasulullah SAW. Semua ingatan itu, membuat Bilal tak sanggup melanjutkan adzan pada lantunan lafadz tersebut.
Di atas menara Nabawi, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Suasana itu kemudian membuat seantero Madinah pecah oleh tangisan, dan ratapan yang sangat memilukan para sahabat NEdon yang paling mulia.
“Nah, Sang Khalifah Umar bin Khattab, menangis paling keras di antara yang lain. Mereka semua menangis, teringat masa-masa indah ketika Rasulullah masih ada di bersama mereka,” demikian Ustadz Salman mengakhiri ceritanya.
Edon menangis. Aceng menangis. Entah apa yang berkecamuk dalam dadanya. Yang jelas Aceng tidak mau tidak mengumandangkan azan lagi. Dia hendak bangun tapi istrinya tiba-tiba telah berdiri di depannya. Juga dengan berurai air mata, sambil membawa nampan.
“Maaf kak, tadi saya ikut mendengar cerita Ustadz. Saya tidak berani masuk takut memutuskan cerita,” katanya malu-malu sambil meletakkan nampan berisi gelas.
“Loh, koq air putih. Mana kopi pak Ustadz,?” tanya Aceng sedikit keras.
“Maaf Kak, semua kios tutup, hanya ini yang ada,” kata istrinya polos. Ustadz Salman dan Edon tersenyum. “Makanya jangan bertakalluf bro,” kata Edon. (**)